Senin, 10 Mei 2010

Seni Rupa Post Modern/Kontemporer




Seni rupa pada zaman inibanyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, terutama menceritakankeruntuhan atau kehancuran peradapan manusia karena dua perang dunia(1914-1945). Seni rupa pada masa ini melahirkan aliran-aliran sepertiImpresionisme, Ekspresionisme, Fauvisme, Dadaisme, dan Surealisme. Interaksiglobal yang terus meningkat pada masa ini banyak memasukkan budaya-budayaberbagai daerah ke dalam seni rupa barat.

Senirupa kontemporer sendiri dapat diartikan sebagai seni yang berkembang sejalandengan zamannya ( masa kini ), perwujudan karyanya cenderung lebih bebasdalam berkarya, baik bahan, teknik maupun media.

Bisadibilang bahwa seni rupa kontemporer didorong oleh relativitas yang berlakumutlak pada zaman itu, dimana budaya-budaya dunia dan sejarahnya dilihat dariberbagai bentuk yang selalu berubah. Akibatnya, perbedaan antar budaya menjadikabur dan pola piker berbudaya global lebih tepat dipraktikkan dari pada polapiker regional

Salah satu ciri karya seni pada masaini lebih mengagungkan ketidakwajaran daripada sesuatu yang sifatnyakonvensional.

Menyimak Kritik-kritik Suklu



By beritaseni on August 26th, 2008

Oleh : Wayan Sunarta*
Wayan Sujana Suklu merupakan salah satu perupa yang sedang tekun-tekunnya menjelajahi ranah seni rupa kontemporer. Karya-karya kontemporernya telah mengantarnya mengikuti berbagai ajang seni rupa tingkat nasional dan internasional. Namun sebelum melangkah ke pergulatan seni rupa kontemporer yang akhir-akhir ini semakin marak dan digemari para perupa, Suklu telah merambah seni rupa corak tradisi dan ragam corak modern.

Pada awal karirnya sebagai pelukis, Suklu sangat terpikat dengan berbagai ragam patra dan banyak mengusung simbol serta ikon seni lukis tradisi Bali dengan teknik sigar mangsi. Seiring bertambahnya pengetahuan seni rupanya, memicu Suklu merambah seni rupa modern dengan objek-objek figuratif yang distortif bertemakan wanita, khususnya ibu. Kemudian Suklu menjelajahi wilayah abstrak dengan teknik repetitif. Dosen seni rupa ISI Denpasar ini termasuk seniman yang selalu gelisah untuk menjajaki berbagai kemungkinan yang ditawarkan dunia seni rupa.

Pada pameran tunggalnya kali ini yang bertajuk ”Reading Objects” di Gaya Fusion Art Space, Ubud, sejak 26 Juli sampai 26 Agustus 2008, Suklu menampilkan beberapa seni instalasi dan lukisan. Selain itu Suklu juga menyuguhkan sejumlah coretan ala kaligrafi yang dibuatnya ketika berada di Beijing. Mungkin Suklu ingin menyerap saripati seni kaligrafi China atau sekadar corat-coret pengisi waktu luang di sela-sela acara Beijing International Art Biennale yang diikutinya baru-baru ini.

Namun karya-karya seni instalasi yang ditampilkan Suklu menarik untuk disimak sebab berhubungan dengan kritik-kritiknya terhadap berbagai persoalan modernisasi yang merambah Bali. Seni instalasi Suklu merepresentasikan ironi tarik menarik lokal-global yang kini sedang terjadi hampir di semua lini kehidupan di Bali. Perupa kelahiran Klungkung, Bali, 6 Februari 1967 ini, telah mengalami dan merasakan betapa modernisasi yang mengatasnamakan pariwisata secara perlahan telah menggerus kehidupan agraris dan tradisi Bali. Persawahan dan tepian pantai dikavling dan disulap menjadi hotel, restauran, villa, bungalow, seiring menjamurnya perumahan penduduk yang cenderung tidak tertata. Pembukaan jalan raya dan bypass telah menghancurkan sistem irigasi subak yang telah diwarisi sejak beratus tahun lampau. Para petani tidak berdaya. Sementara itu para pejabat, penguasa dan pengusaha berkolaborasi membangun kerakusan menggerogoti sejengkal demi sejengkal tanah Bali.

Melalui seni instalasinya yang mengambil konsep pepatah lama, “kacang lupa kulitnya”, Suklu melancarkan protes dan kritik terhadap kenyataan tersebut. Suklu merancang dan memajang sedemikian rupa sejumlah kacang ukuran raksasa yang dibuat dari logam. Beberapa kulit kacang dibuat terbuka dan isinya terlontar menjauh dari kulitnya. Sedangkan isi kacang yang lain nampak masih semayam dalam kulitnya yang terbuka, seakan enggan meninggalkan kenyamanan itu. Namun di sisi yang lain beberapa kulit kacang yang kusam nampak kosong melompong dan merana telah ditinggalkan isinya yang durhaka.

Penggunaan metafora “kacang lupa kulitnya” sungguh sangat mengena di tengah kondisi paradoks sekarang ini. Kacang merupakan salah satu hasil pertanian dan merupakan bagian dari kebudayaan agraris. Suklu ingin mengatakan betapa pun gigihnya orang mengejar laju modernisasi, hendaknya janganlah melupakan tradisi yang melahirkan dan membesarkannya. Sebab tanpa tradisi tidak akan ada yang namanya modernisasi.

Pada karya instalasi “The Singing Leaves”, Suklu menggunakan buluh-buluh bambu yang dipajang secara acak dengan posisi berdiri dan membentuk semacam struktur gubug tanpa dinding. Perpaduan antara buluh-buluh bambu menciptakan ruang yang mampu mengeluarkan bunyi-bunyian indah ketika dipajang di udara terbuka. Dahulu bambu sangat dekat dengan kehidupan agraris. Bambu menjadi alat musik rindik, tingklik, tek-tekan, pindekan (kincir) dan sunari yang mampu menghibur para petani ketika lelah mengolah sawah. Bambu juga biasa dipakai untuk membuat bangunan tradisional yang bernuansa ekologis. Bagi kebudayaan agraris manfaat bambu sungguh sangat banyak. Namun seiring laju modernisasi, bambu merupakan salah satu lambang tradisi yang mulai ditinggalkan. Melalui seni instalasinya itu, Suklu ingin mengingatkan betapa bambu pernah memberi nuansa dan kehidupan pada kebudayaan agraris.

Fenomena kehancuran ekologi mencuat pada karya instalasi berjudul “Once Upon a Chance”. Suklu menampilkan daun raksasa yang dirancang dan dirakit dari lempengan logam. Suklu mengerjakan semua itu dengan berbagai perkakas tukang las. Daun raksasa yang menyerupai kayonan dalam pagelaran wayang kulit itu nampak mengalami pembusukan dan mengering sehingga urat dan seratnya terlihat begitu menyedihkan. Karya ini merupakan kritik Suklu terhadap berbagai bentuk kerusakan ekologi akibat dampak buruk modernisasi. Suatu saat manusia akan menciptakan hutan-hutan tiruan dari robot karena pohon-pohon habis ditebang. Mungkin itu yang ingin disampaikan Suklu lewat karyanya ini.

Karya instalasi “Tearing Piercing” yang digubah dari perpaduan lempengan logam yang keras dan dingin dengan anyaman serat alam yang repetitif dan penuh warna hangat, lebih merepresentasikan kegalauan Suklu menghadapi modernisasi dan globalisasi. Peradaban logam dan robot berhadapan dengan peradaban agraris yang tradisional. Sungguh mengerikan, merobek dan menembus, saling mencacah.

Kritik Suklu terhadap pembukaan jalan bypass yang membelah persawahan sehingga berdampak pada kerusakan ekologis, lalu lintas yang padat dan macet serta tragedi kecelakaan lalu lintas, terepresentasikan pada karya instalasi berjudul “A Helmet for Affandi”. Sejumlah helm cerobong dilukis dengan corak abstrak repetitif dan diberi aksen anyaman yang menyerupai rambut pendukung aliran musik punk.

Tapi mengapa helm-helm ini ditujukan untuk Affandi? Apakah karena nama besar maestro seni lukis itu? Atau Suklu hendak berkeluh kesah kepada arwah Affandi tentang berbagai bentuk kehancuran alam di Bali? Mungkin ini sebuah karya parodi, bahwa para pelukis mesti hati-hati ketika bersepeda motor di jalan raya agar kelak bisa mengikuti jejak kemaestroan Affandi. Agar tidak mati sia-sia di jalan raya sebelum karya hebat tercipta.

Arus Figur, Demam Kreatif Seniman Bali



Oleh Putu Wirata

CAKRAWALA kreativitas dunia seni rupa kontemporer di Bali khususnya, agaknya tengah dilanda awan mendung. Sejak munculnya seni klasik kamasan, lukisan tradisional gaya Ubud, maupun Batuan lewat perkumpulan Pita Maha pada tahun 1930-an, lalu perkumpulan Young Artists di Penestanan pada tahun 1950-an, yang kemudian didobrak oleh eksperimen anak-anak muda yang tergabung dalam Sanggar Dewata Indonesia menjelang akhir tahun 1970-an, sesudahnya tidaklah sedikit seniman-seniman muda yang bereksperimen untuk mencipta sesuatu yang orisinal dan sebisa-bisanya keluar dari style yang sudah menjadi ladang eksplorasi para seniman sebelumnya. Eksperimen memang memerlukan nyali selain kemampuan kreatif yang tak kenal menyerah.

Pelukis-pelukis Ubud tahun 1930-an misalnya, masuk dalam Pita Maha yang sedang gencar melakukan eksperimen dibawah motor trio Walter Spies, Rudolf Bonnet dan Tjokorda Gde Agung Sukawati, sebuah eksperimen dan eksplorasi yang tidak hanya menghasilkan pelukis-pelukis tradisional yang masuk pada tema-tema baru dalam karyanya, tetapi malah menghasilkan orang yang kreativitasnya benar-benar menyempal dari arus besar Pita Maha, seperti yang tampak pada Gusti Lempad ataupun pematung Cokot.

Selanjutnya, anak-anak muda, mahasiswa ISI (waktu itu ASRI) Yogyakarta asal Bali yang menghimpun diri dalam Sanggar Dewata Indonesia-lazimnya disebut Sanggar Dewata saja-pada tahun 1970-an, dimana berkumpul Made Wianta, Nyoman Gunarsa, Wayan Sika, Pande Gde Supada, dan lain-lain, menyerap gagasan modern tentang kreativitas berkesenian, tetapi tidak mau meninggalkan akar budayanya yang lekat kuat, sejak mereka lahir dan dibesarkan. Hanya beberapa tahun Made Wianta mengundurkan diri dari Sanggar Dewata, konon karena perbedaan faham dengan Nyoman Gunarsa. Namun, kelak kedua nama ini tumbuh menjadi nama yang diperhitungkan dalam tataran seni rupa kontemporer di Bali maupun Indonesia. Kelak Sanggar Dewata menjadi salah satu ”kantung” kreativitas, yang terlepas dari berbagai dinamika internal yang ada, telah melahirkan sejumlah nama kuat seperti Nyoman Erawan, Nyoman Sukari, Pande Ketut Taman, Nyoman Masriadi, dan sebagainya.

Namun, kendati ketika Sanggar Dewata lahir sempat menjadi polemik di seputar identitas ke-Bali-an, munculnya ”sub-eksplorasi” macam karya-karya Taman dan Masriadi, sampai sejauh ini masih berlangsung dalam dinamika yang gejolaknya dapat dirasakan secara estetis. Identitas ke-Bali-an perlahan-lahan tidak lagi menjadi wacana yang menarik, manakala migrasi seniman-seniman luar Bali menjadikan alam seniman kontemporer di Bali semakin pluralistik. Seniman-seniman Bali maupun kalangan pecinta seni di Bali, misalnya, tidaklah bisa tidak menarik napas pada karya-karya Piter Ditmar yang mengangkat ikon-ikon Budhis dalam ekspresi yang sangat kontemporer. Atau karya-karya Marc Jurt yang pernah dipamerkan di Agung Rai Museum, yang dengan teknik woodcut melakukan eksplorasi tematik pada aneka macam sesajen, detail arsitektur Bali, sawah-sawah, sungai maupun gunung gemunung Bali yang bisa dirasakan kehangatan dan kemesraannya. Perdebatan di seputar identitas ke-Bali-an, dengan sendirinya telah tenggelam oleh iklim plural yang muncul secara alamiah.

Namun, energi kreatif para seniman memanglah bukan sesuatu yang bisa diredam. Paska periode abstrak ekspresionis dengan ikonografi Bali pelukis Sanggar Dewata telah melahirkan Pande Taman dan Masriadi, yang dengan segera menebarkan semangat eksplorasi pada ladang yang sama: eksplorasi figur-figur. Taman dan Masriadi tengah berada dalam rangkaian gerbong kereta api yang bergerak maju, dimana di gerbong depannya ada Gunarsa, Wianta, Erawan, Sukari, Djirna, dan lain-lain.

Tidaklah sedikit perupa-perupa muda Bali yang tengah dilanda oleh semangat eksplorasi pada figur-figur itu, demam yang seakan-akan berlanjut dari beberapa kali Phillip Moris Indonesia Art Award, dimana yang masuk dalam nominasi, lazimnya karya-karya dengan tema-tema figur, entah mengangkat kritik sosial ataupun tema-tema lainnya. Rangkaian dari gejala-gejala ini memang bisa menimbulkan tuduhan, seakan-akan ”demam figur” tengah berjangkit pada seniman-seniman muda. Namun, mungkin akan lebih bijak untuk melihat ”demam figur” ini sebagai representasi dari eksplorasi diri masing-masing seniman. Karena, gejolak pencaharian agaknya tengah melanda banyak seniman, setelah satu generasi eksistensi Sanggar Dewata, yang telah mendeklarasikan satu ekspresi modern tanpa meninggalkan lambang-lambang budaya lokalnya, yang dalam hal ini budaya Bali. Nyoman Gunarsa yang sudah melambung sebagai seniman dengan julukan ”si tangan emas”, dengan Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsanya di Klungkung, toh tetap memerlukan lambang-lambang baru, dengan menyelenggarakan pameran millenium di beberapa museum besar di Bali menjelang akhir tahun 1999 yang lalu. Made Wianta yang sudah kesohor masih perlu menancapkan satu perlambang baru dengan menggelar Art and Peace di pantai Padanggalak, Sanur, menyongsong milenium ketiga, tahun 2001.

Andaikan kita ini boleh bersedih menyaksikan dinamika kaum seniman belakangan ini, terjadi pergeseran makna yang sangat mendalam dalam eksplorasi mereka. Wacana seniman-seniman Bali tahun 1930-an rahim dan lingkungan budaya Pita Maha-lah yang melahirkan Gusti Ketut Kobot, Gusti Nyoman Lempad sampai pada Cokot, Nyana, dan lain-lain. Di tahun 1970-an sampai 1990-an, lingkungan Sanggar Dewata melahirkan Gunarsa, Wianta, Erawan, Taman, sampai Masriadi. Maka, memasuki milenium ketiga ini, yang terjadi adalah dobrakan-dobrakan yang secara kreatif mengguratkan warna muram pada cakrawala seni rupa kontemporer di Bali. Gerakan yang menamakan dirinya Mendobrak Hegemoni muncul dari Kamasra (keluarga mahasiswa seni rupa STSI Denpasar) pada tahun 2000, satu dobrakan yang coba mengobrak-abrik bangunan budaya yang telah dihasilkan sebelumnya: Pita Maha, Sanggar Dewata, galeri-galeri, museum-museum, media massa, kritikus, jurnalis seni, seniman-seniman yang dianggap master dan sebagainya. Dobrakan pelukis muda dari Kamasra ini dilangsungkan dalam sebuah pameran yang digelar di lapangan Puputan Badung, mengobrak-abrik pelukis-pelukis yang sudah dianggap maestro (Gunarsa, Wianta, Erawan, Chusin, Sika), galeri-galeri, Sanggar Dewata, museum, kurator, art dealer, jurnalis seni rupa, kritikus, dan sebagainya, seakan-akan seluruhnya hanyalah ”sampah tak berguna”. Dobrakan mereka seperti hendak meniadakan seluruh akumulasi historis dari penciptaan, satu dobrakan radikal yang hendak membangun dari nol!

Dua tahun setelah deklarasi Mendobrak Hegemoni yang menghebohkan itu, memang belum menstimulasi satu kreativitas baru. Sementara gerak-an Mendobrak Hegemoni tengah mengalami ”masa inkubasi” – satu tahapan menuju pencapaian berikutnya, hancur lebur atau tumbuh sebagai sosok yang lebih mantap-di Ubud, seniman Made Wiradana dan kurator Gde Putu Jaya mengejutkan dengan Deklarasi Akhir Tahun 2001, satu pernyataan terbuka bahwa Wiradana merasa pas berada pada jalur posmodernisme. Walaupun Putu Gde Jaya membabarkan argumen estetik dan filosofis dari deklarasi itu dengan referensi yang tidak bisa disangkal kehebatannya, orang dengan mudah mengentengkannya sebagai pernyataan yang sangat terlambat karena gerakan posmodern telah dilontar-kan oleh seniman-seniman Amerika sekitar 30-an tahun silam. Lagi pula, dengan menjadi anggota Sanggar Dewata-bahkan sekarang ini ia menjadi ketuanya-Made Wiradana sesungguhnya sudah mendeklarasikan diri berada dalam pusaran pluralisme kultural yang menjadi semangat kaum posmodernis.

Namun, walau gerakan Mendobrak Hegemoni belum mendobrak apa-apa dan Deklarasi Akhir 2001 Wiradana tidak menawarkan konsep orisinal yang sesungguhnya, khalayak seni rupa masih bisa memetik hikmah dari spirit gerakan mereka: hasrat untuk berkreasi dan semangat untuk menghasilkan sesuatu yang orisinal serta mempertanyakan apa yang sudah kuat bercokol sebagai mainstream. Ibarat Gunung Mandara Giri yang tengah diputar oleh dua kekuatan dahsyat untuk mencari tirta sanjiwani, kreativitas penciptaan seni rupa agaknya tengah bergemuruh dalam pusaran yang dinamis itu, dimana seniman-seniman melakukan pencaharian dengan segala daya cipta mereka. Ada yang kebablasan dan terjatuh, ada yang terjatuh tapi bangun lagi dan berkarya lagi.

Senin, 08 Maret 2010

sejarah balon udara


SEJARAH modem menyebutkan balon udara dimulai oleh Montgolfier bersaudara dari Annonay, Perancis, yang menciptakan balon udara pertama. Manusia yang pertama kali terbang dengan balon udara pada 21 November 1783 di Paris adalah Jean-Francois Pilatre de Rozler. Francois Laurent dan Marquls d Arlandes. 

Balon udara itu bukan hanya terbang mengikuti angin, tetapi juga sudah dapat dikendalikan manusia. Balon udara Montgolfier yang bergerak ke udara -dengan membakar wol dan Jerami- mampu terbang sejauh 9 km dalam waktu 23 menit.

Ahli fisika dari Austria, VF Hess. Juga membuat balon udara yang terbang di ketinggian 5 km pada 1911-1912. Duapuluh tahun kemudian, Auguste Plccar dan Paul Klpfer mendesain balon udara dengan memberi tekanan pada kabin. Balon udara Itu dikembangkan lagi oleh Jean-Felix Plccard dengan menggunakan balon plastik dari rangkaian Potythyle-ne Skyhook yang biasa digunakan Angkatan Udara AS.

Malcom Ross dan Victor Prather pada 5 April 1961 menerbangkan balon udara setinggi 34.668 meter yang dilepas dari geladak Kapal Induk USS Antietam di Teluk Meksiko. Tapi. Balon Wlnzen yang berbentuk kubus berhasil mencapai ketinggian 51.8 km di Chico. California, AS.