By beritaseni on August 26th, 2008
Oleh : Wayan Sunarta*
Wayan Sujana Suklu merupakan salah satu perupa yang sedang tekun-tekunnya menjelajahi ranah seni rupa kontemporer. Karya-karya kontemporernya telah mengantarnya mengikuti berbagai ajang seni rupa tingkat nasional dan internasional. Namun sebelum melangkah ke pergulatan seni rupa kontemporer yang akhir-akhir ini semakin marak dan digemari para perupa, Suklu telah merambah seni rupa corak tradisi dan ragam corak modern.
Pada awal karirnya sebagai pelukis, Suklu sangat terpikat dengan berbagai ragam patra dan banyak mengusung simbol serta ikon seni lukis tradisi Bali dengan teknik sigar mangsi. Seiring bertambahnya pengetahuan seni rupanya, memicu Suklu merambah seni rupa modern dengan objek-objek figuratif yang distortif bertemakan wanita, khususnya ibu. Kemudian Suklu menjelajahi wilayah abstrak dengan teknik repetitif. Dosen seni rupa ISI Denpasar ini termasuk seniman yang selalu gelisah untuk menjajaki berbagai kemungkinan yang ditawarkan dunia seni rupa.
Pada pameran tunggalnya kali ini yang bertajuk ”Reading Objects” di Gaya Fusion Art Space, Ubud, sejak 26 Juli sampai 26 Agustus 2008, Suklu menampilkan beberapa seni instalasi dan lukisan. Selain itu Suklu juga menyuguhkan sejumlah coretan ala kaligrafi yang dibuatnya ketika berada di Beijing. Mungkin Suklu ingin menyerap saripati seni kaligrafi China atau sekadar corat-coret pengisi waktu luang di sela-sela acara Beijing International Art Biennale yang diikutinya baru-baru ini.
Namun karya-karya seni instalasi yang ditampilkan Suklu menarik untuk disimak sebab berhubungan dengan kritik-kritiknya terhadap berbagai persoalan modernisasi yang merambah Bali. Seni instalasi Suklu merepresentasikan ironi tarik menarik lokal-global yang kini sedang terjadi hampir di semua lini kehidupan di Bali. Perupa kelahiran Klungkung, Bali, 6 Februari 1967 ini, telah mengalami dan merasakan betapa modernisasi yang mengatasnamakan pariwisata secara perlahan telah menggerus kehidupan agraris dan tradisi Bali. Persawahan dan tepian pantai dikavling dan disulap menjadi hotel, restauran, villa, bungalow, seiring menjamurnya perumahan penduduk yang cenderung tidak tertata. Pembukaan jalan raya dan bypass telah menghancurkan sistem irigasi subak yang telah diwarisi sejak beratus tahun lampau. Para petani tidak berdaya. Sementara itu para pejabat, penguasa dan pengusaha berkolaborasi membangun kerakusan menggerogoti sejengkal demi sejengkal tanah Bali.
Melalui seni instalasinya yang mengambil konsep pepatah lama, “kacang lupa kulitnya”, Suklu melancarkan protes dan kritik terhadap kenyataan tersebut. Suklu merancang dan memajang sedemikian rupa sejumlah kacang ukuran raksasa yang dibuat dari logam. Beberapa kulit kacang dibuat terbuka dan isinya terlontar menjauh dari kulitnya. Sedangkan isi kacang yang lain nampak masih semayam dalam kulitnya yang terbuka, seakan enggan meninggalkan kenyamanan itu. Namun di sisi yang lain beberapa kulit kacang yang kusam nampak kosong melompong dan merana telah ditinggalkan isinya yang durhaka.
Penggunaan metafora “kacang lupa kulitnya” sungguh sangat mengena di tengah kondisi paradoks sekarang ini. Kacang merupakan salah satu hasil pertanian dan merupakan bagian dari kebudayaan agraris. Suklu ingin mengatakan betapa pun gigihnya orang mengejar laju modernisasi, hendaknya janganlah melupakan tradisi yang melahirkan dan membesarkannya. Sebab tanpa tradisi tidak akan ada yang namanya modernisasi.
Pada karya instalasi “The Singing Leaves”, Suklu menggunakan buluh-buluh bambu yang dipajang secara acak dengan posisi berdiri dan membentuk semacam struktur gubug tanpa dinding. Perpaduan antara buluh-buluh bambu menciptakan ruang yang mampu mengeluarkan bunyi-bunyian indah ketika dipajang di udara terbuka. Dahulu bambu sangat dekat dengan kehidupan agraris. Bambu menjadi alat musik rindik, tingklik, tek-tekan, pindekan (kincir) dan sunari yang mampu menghibur para petani ketika lelah mengolah sawah. Bambu juga biasa dipakai untuk membuat bangunan tradisional yang bernuansa ekologis. Bagi kebudayaan agraris manfaat bambu sungguh sangat banyak. Namun seiring laju modernisasi, bambu merupakan salah satu lambang tradisi yang mulai ditinggalkan. Melalui seni instalasinya itu, Suklu ingin mengingatkan betapa bambu pernah memberi nuansa dan kehidupan pada kebudayaan agraris.
Fenomena kehancuran ekologi mencuat pada karya instalasi berjudul “Once Upon a Chance”. Suklu menampilkan daun raksasa yang dirancang dan dirakit dari lempengan logam. Suklu mengerjakan semua itu dengan berbagai perkakas tukang las. Daun raksasa yang menyerupai kayonan dalam pagelaran wayang kulit itu nampak mengalami pembusukan dan mengering sehingga urat dan seratnya terlihat begitu menyedihkan. Karya ini merupakan kritik Suklu terhadap berbagai bentuk kerusakan ekologi akibat dampak buruk modernisasi. Suatu saat manusia akan menciptakan hutan-hutan tiruan dari robot karena pohon-pohon habis ditebang. Mungkin itu yang ingin disampaikan Suklu lewat karyanya ini.
Karya instalasi “Tearing Piercing” yang digubah dari perpaduan lempengan logam yang keras dan dingin dengan anyaman serat alam yang repetitif dan penuh warna hangat, lebih merepresentasikan kegalauan Suklu menghadapi modernisasi dan globalisasi. Peradaban logam dan robot berhadapan dengan peradaban agraris yang tradisional. Sungguh mengerikan, merobek dan menembus, saling mencacah.
Kritik Suklu terhadap pembukaan jalan bypass yang membelah persawahan sehingga berdampak pada kerusakan ekologis, lalu lintas yang padat dan macet serta tragedi kecelakaan lalu lintas, terepresentasikan pada karya instalasi berjudul “A Helmet for Affandi”. Sejumlah helm cerobong dilukis dengan corak abstrak repetitif dan diberi aksen anyaman yang menyerupai rambut pendukung aliran musik punk.
Tapi mengapa helm-helm ini ditujukan untuk Affandi? Apakah karena nama besar maestro seni lukis itu? Atau Suklu hendak berkeluh kesah kepada arwah Affandi tentang berbagai bentuk kehancuran alam di Bali? Mungkin ini sebuah karya parodi, bahwa para pelukis mesti hati-hati ketika bersepeda motor di jalan raya agar kelak bisa mengikuti jejak kemaestroan Affandi. Agar tidak mati sia-sia di jalan raya sebelum karya hebat tercipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar